“Musik dan Irama: Dari Relaksasi Menjadi Jerat Budaya Massal”

Bagikan Keteman :

Di era modern ini, telah terjadi pergeseran budaya yang sangat dalam dan sistemik, dan patut direnungi oleh siapa pun yang ingin menjaga jiwanya tetap sehat secara ruhani. Mari kita kupas dengan pendekatan spiritual, budaya, dan kesadaran sosial yang membangun serta memotivasi.


“Musik dan Irama: Dari Relaksasi Menjadi Jerat Budaya Massal”

Musik dan irama, dahulu hanyalah pelengkap suasana. Ia sederhana, bersifat pribadi, dan fungsional:

  • Sebagai alat bantu untuk relaksasi
  • Sarana mengungkapkan rasa
  • Media melantunkan pujian atau syair hikmah

Namun kini, musik telah berubah wujud.

Ia tak lagi sekadar alat. Ia menjadi simbol utama perayaan dan pesta.
Tanpa musik, acara dianggap hambar.
Tanpa irama, pesta terasa gagal.
Tanpa dentuman, kemeriahan dianggap belum sah.

Ini bukan sekadar perubahan budaya. Ini adalah tanda pergeseran makna yang dalam.


Musik Telah Menjadi Pusat, Bukan Pelengkap

Dalam pesta pernikahan, ulang tahun, konser, festival, hingga kegiatan keagamaan, musik telah menjadi unsur utama.
Tanpa musik, semua seolah ‘kurang berjiwa’.

Padahal, dulu musik hanya menjadi alat bantu, bukan inti.
Kini, ia justru menjadi pusat perhatian, bahkan berhala gaya hidup modern.

Dari sini kita bisa pahami bahwa musik telah bergeser dari fungsi kepada identitas, dari relaksasi kepada industri, dari ekspresi kepada eksploitasi.


Industri Musik: Keindahan yang Dimonetisasi

Musik hari ini telah menjadi industri besar.

  • Dijual dalam bentuk konser, streaming, merchandise
  • Dikemas dengan visual, gaya hidup, tarian, bahkan sensualitas
  • Dipasarkan tidak hanya kepada penikmat, tapi kepada semua usia—dari balita hingga orang tua

Inilah yang paling mengkhawatirkan:
Ketika musik bukan lagi soal rasa, tapi soal pasar.
Bukan lagi tentang ekspresi, tapi soal eksploitasi.

Dan yang paling berbahaya: kesadaran manusia terhadap bahaya musik yang melalaikan mulai hilang.


Bahaya Paling Halus: Ketika Hati Tak Lagi Waspada

Ini yang lebih dalam dari sekadar masalah hukum atau haram-halal.
Ketika mayoritas manusia sudah menganggap musik sebagai kebutuhan pokok, maka:

  • Hati mereka tak lagi curiga terhadap kelalaian
  • Jiwa mereka tidak lagi waspada terhadap dampak ruhani
  • Pikiran mereka tak lagi kritis terhadap konten dan nilai-nilai di balik musik tersebut

Inilah musibah besar: ketika racun datang dalam wujud keindahan, dan tidak ada yang merasa perlu menghindar.

Musibahnya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat—karena jiwa yang lalai adalah jiwa yang jauh dari Allah.


Bagaimana Kita Memahami dan Menyikapi Ini?

  1. Sadar bahwa tidak semua keindahan itu aman
    Sesuatu yang merdu, belum tentu membawa kedekatan pada Allah.
    Bahkan bisa jadi, semakin merdu, semakin meninabobokan.
  2. Kembalikan irama kepada peran asalnya: pelengkap, bukan pusat
    Jika ingin mendengarkan musik, pastikan fungsinya jelas: menenangkan, bukan melalaikan.
    Jika sebuah acara memaksakan musik sebagai kemeriahan, kita boleh berbeda—pilih khusyuk, bukan hiruk-pikuk.
  3. Bangun kesadaran komunitas, mulai dari diri sendiri dan keluarga
    Arahkan anak-anak untuk lebih cinta tilawah daripada tontonan musik.
    Bimbing remaja untuk menilai lirik dan isi musik, bukan hanya melodi.
    Edukasi bahwa “sunyi bersama Allah lebih menenangkan daripada bising bersama dunia.”

Penutup: Waspadalah Sebelum Terlambat

Musik bukan musuh. Tapi kecintaan yang berlebihan kepadanya adalah bahaya.
Irama bukan dosa. Tapi melalaikan dengannya adalah petaka.
Pesta bukan kesalahan. Tapi jika jadi tempat kelupaan terhadap Allah, maka itu adalah jalan menuju kehancuran batin.

Saat semua orang lupa untuk waspada, maka yang sadar harus bersuara.
Agar kita tidak ikut hanyut dalam gelombang kelalaian massal yang diiringi oleh musik dunia—tapi hampa dari makna dan ruh.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment